Mereka yang Kesepian
Orang kesepian mudah berputus asa dan merasa dunia ini sangat sempit sehingga ia dibunuh oleh rasa sedihnya dan mendorong dirinya membenci orang lain, membenci kehidupan dunia dan kehidupan sesudahnya, karena ketika seseorang merasa kesepian dia akan menganggap keluarga, teman, saudara, tetangga tak pernah ada, ia merasa sendiri menghadapi kekecewaan hidup, ia sendiri berdiri di tengah-tengah badai masalah, ia pun tak tau harus lari kepada siapa untuk dapat meluapkan isi hatinya.
Ada seorang ibu rumah tangga yang juga merasakan hal seperti ini, ia coba tuangkan isi hatinya pada sebuah tulisan, dan aku begitu sangat tersentuh ketika membacanya kawan (baca: mewek). Bagi saya kisah yang ia tulis begitu penuh inspirasi dan menyentuh hati saya, sehingga imajinasi saya meraba, jika saya adalah ibu tersebut bagaimana dengan saya, bisa kah saya bahagia seperti sampai saat ini?
Gambar: Ilustrasi Kesepian |
Aku datang dari keluarga sederhana. Saat ini pada usia 27th aku telah menikah dan mempunyai 3orang anak yang sudah sekolah semua. Aku menikah bukan berdasarkan cinta, bukan juga karena kebetulan, atau bahkan karena keadaan, tidak! semua itu tidak benar. aku menikah karena kata-kata bapak. Suamiku adalah seorang pemuda yang kaya raya dan berkepribadian baik. Ia tidak minum minuman keras apalagi berjudi, tidak mempunyai pengalaman dengan wanita manapun, tidak seperti aku yang sudah memiliki 7orang mantan dan akulah wanita pertama dalam hidupnya, juga yang menjadi wanita terakhir.
Aku yakin bukan lantaran aku cantik, atau karena kepribadianku yang sangat kuat atau karena suamiku orang yang sangat baik dan wawasannya sempit sekali sehingga memilih aku untuk di jadikan istrinya. Melainkan karena suamiku melupakan satu hal, yaitu bahwa aku berasal dari keluarga asing yang pernah belajar, membaca, menari, minum minuman keras, menyukai orang lain, duduk-duduk dan mengunjungi rumah mereka dan mereka mengunjungiku. Semua ini tidak di ketahui suamiku. Ia tidak pernah membayangkan seorang wanita keluar dari rumah. Mengapa harus keluar rumah selama mereka mempunyai makanan, minuman, pakaian, pembantu, telepon, televisi, internet, dan anak-anak? bila akan keluar rumah, aku harus minta izin terlebih dahulu. Bila ada temanku yang mengundang makan malam, suamiku selalu tidak mengabulkannya. Menurutnya, selama kita tidak menerima undangan seseorang temtu orang lain juga tidak menerima undangan kita. Oleh karena itu kita hidup dalam keterasingan. Tapi siapakah yang menginginkan hal ini? dialah suamiku. Mengapa ia menginginkannya? karena ia tidak pernah membayangkan yang lain mungkin saja terjadi. Ia adalah seorang lelaki dusun kaya raya yang berkesempatan belajar di Mesir, ia pun taat beragama sehingga aku tidak mempunyai celah untuk tidak mempertahankan perkawinan ini. Namun rasa dan perasaan tidak terdapat di buku, keduanya tidak di pelajari manusia di universitas, keduanya tidak dipelajari manusia sebagaiman manusia tidak mempelajari hitam bola matanya karena hitan di mata manusia tidak digambarkan hitam oleh otaknya.
Begitulah suamiku. Aku sekarang membaca cerita dan memenuhi hidupku dengan nyanyian, mimpi-mimpi dan mengobrol di telepon, mendengarkan kisah teman-temanku dan tetanggaku atau bertaruh dengan suami-suaminya.
Mereka terus hidup dan musibahku adalah suamiku tak memiliki aib sedikitpun! ia menyayangi dan mengasihiku. Semua yang kuminta selalu terkabul. Tetapi aku menginginkan perasaannya dan hidup bersamanya, bukan mati. Ingin kutuangkan api yang memenuhi wajahku untuk mencairkan es yang ada di kepala dan hatinya. Aku sedih setiap kali melihatnya karena ia tidak merasakan perasaan yang mendalam. Aku kasian padanya bila aku berselingkuh atau mengkhianatinya dengan lelaki lain atau bila kutinggalkan ia seorang diri, karena ia memang terlalu baik.
Kebutuhanku tercukupi, tak pernah sekalipun ia membentakku, memakiku atau memukuliku. Saat ketika aku melakukan kesalahan dia hanya diam tanpa ekspresi, saat aku kegirangan ia hanya tersenyum simpul, dan saat aku bosan dan kesepian ia berikan laptopnya dan beberapa games untuk kumainkan. Aku tidak hanya kesepian, tapi juga seperti tidur seorang diri, ia memeluk dan menciumku saat ia ingin saja, ketika aku yang menginginkannya, ia memeluk tanpa perasaan, terkadang aku mengurungkan niatku untuk meminta di belai, karena ia lakukan tidak dengan perasaannya. Aku seakan berjalan sendiri, di penjara sendiri, berbicara sendiri, sementara lelaki itu menyelimutiku dengan kebisuan, membakarku dengan kebekuan, menyiksaku dengan kebaikan dan mengkhianatiku dengan ketulusannya.
Apakah kau tau, di rumahku tidak pernah ada suara selain suara telepon, televisi, radio, dan MP3. Bahkan hanya ketika anak-anakku masih bayilah, itu adalah suara terindah yang pernah aku dengar di istana megah ini. Ketika mereka beranjak dewasa, mereka di ajarkan oleh ayahnya untuk diam, Diam itu emas, Sedikit berbicara banyak tindakan, mulutmu harimaumu. Aaaarrgh... merekapun terhipnotis. Mereka bersuara ketika mengucapkan salam dan menjawab salam. Mereka belajar di kamar mereka masing-masing, menonton televisi di kamar masing-masing, waktu bersama hanya di meja makan itupun penuh dengan kebisuan. Lantas aku harus bagaimana? Selalu ku coba bicarakan kepada suami dan anak-anakku tetapi entah mereka mendengar ataupun tidak, tidak pernah ada perubahan. Dimana letak salahnya keluarga ini? oh Tuhan... rasanya aku tak tahan lagi dengan keluarga seperti ini.
Akhirnya aku mengulurkan tangan kepada lelaki lain, melemparkan tubuhku di bawah telapak kaki laki-laki lain tersebut dan mencium kakinya. Aku lebih memilih berjalan di atas bumi ini dengan laki-laki yang merasakan keberadaanku dan berdiri di sampinya daripada dengan patung yang terbuat dari emas.
Ketika saat perpisahan itu aku mengulurkan tangan kepada anak-anakku, begitu mengecewakan ketiga anakku justru ingin ikut bersamaku, tak ada yang memilih untuk tinggal di istana bersama ayahnya. Bukan! aku bukan kecewa karena aku tak inginkan ketiga anakku bersamaku, tapi aku kasihan bagaimana sang patung yang terbuat dari emasbisa sendirian di istana yang megah? siapa yang akan merawatnya, ia berhak atas anak-anaknya. Sehingga kuputuskan anank-anakku untuk tetap tinggal bersamanya, dan mempersilahkan kapanpun waktunya untuk mengunjungiku. Apakah aku salah Tuhan?
Maafkan aku Tuhan, Maafkan aku suamiku, maafkan aku anak-anakku.
SaLam SeManGat (^_^")
(FNU)
Resapan atas karya Anis Mansur
0 komentar: