Breaking News

Thursday, February 6, 2014

Part 2: Cinta Rosa Tanpa Rio (CFTF)

Print or PDF
***

Malam ini aku terbangun lagi, ingin kuadukan rasa sakit, takut dan segala harapku kepada sang Rabbku, saat ku buka mata, terbayang lagi sosok Rio, tak kuat lagi dan aku menangis lagi “Rio..” berkali-kali ku panggil namanya.

Ku hela nafas panjang lalu ku basuh ragaku dengan air wudlu. Ku pakai mukena dan ku gelar sajadahku. Dalam sujud solat malamku, menangis adalah hal yang tak mampu ku tahan. Allah Engkau tahu air mata ini, Engkau tahu sakit ini, bahkan Engkau tahu semua gelisahku. Aku menghadapMu. Ingin bertemu denganMU, kumohon terima solatku ya Rabb. Ampuni aku larut dalam doa panjang “astaghfirullahal’adzim”, hanya keluh rio yang ku utarakan.
***
Aku memang sudah lama berpisah dengan Rio, namun nama dan wajahnya tak henti mengusik hariku, ku coba alihkan, namun ia tetap mengikuti.
Rindu.
Aku merindukan sosok yang menyenangkan darinya, sosok yang selalu mengajariku banyak hal, bahkan dia tak pernah tau, betapa senangnya aku bertanya padanya tentang hal sepele sekalipun, iya, aku memang senang terlihat bodoh ketika didepannya. Mungkin aneh, namun begitulah kenyataannya, aku senang ia mengajariku banyak hal. Ketika dia cubit hidungku, ketika dia mengejekku, ketika ia menjailiku. Aku bahagia bersamanya.

Saat ini, entah dari mana asalnya, aku begitu sangat merindukannya. Aku menangis seperti anak kecil. Tak mampu menahannya lagi.

Kutemui ibu yang tengah duduk bersila, memutar tasbih, dan bertafakur. Sesekali ku lihat ibu menghela nafas panjang lalu melihatku, mungkin seribu tanda tanya menghampiri, mungkin juga ibu sedang menghiasi doanya dengan namaku. “rosa..” lirih ibu.

Tangisku tertumpah, lalu mendekat dan ku ciumi kaki ibu, ku peluk ibu.

Terang ibu semakin mengkhawatirkanku, seorang rosa menangis? Mungkin itu yang terfikirkan oleh ibu.

Aku memang lebih memilih menutupi sedihku sedari kecil. Aku sosok yang sangat pemalu jika menangis didepan keluargaku, kakaku bisa mengolokku habis-habisan jika tahu aku menangis, atau adik-adikku pasti akan menertawakanku lalu menganggapku sebagai adik mereka. Sangat tidak lucu bukan? dari kecil aku memang sosok yang bandel. Itulah yang mereka kenal tentang aku. Beranjak dewasa, aku di kenal sosok pendiam, tak banyak mengeluhkan tentang masalahku, terlebih tentang cowok. Namun mereka tak pernah tahu, sosok yang mereka kenal justru sosok terlemah diantara mereka, aku mudah menangis. Menangis di depan cowokku, itulah tempat yang paling nyaman menurutku. Huuuft… aku merindukan menangis didepannya, saat ia usap tudung kepalaku, ia tak perlu mengatakan apa2, hanya cukup memandangku, itu sudah membuatku tenang. Rio aku merindukanmu. 

“ibu, maafkan aku. Bila ayah dan ibu sudah merindukan sosok pendamping untukku, aku sudah pasrah. Aku pikir, aku memang tak pandai memilih, pilihanku selalu salah, kini kuserahkan segalanya pada ayah dan ibu, aku takkan membantah lagi, karena sungguh bahkan aku tak tahu apakah aku masih bisa jatuh cinta lagi… maafkan aku ibu..” pelukku mungkin sedikit membuat ibu sesak, namun ia memilih memelukku, terus memelukku. Untuk pertama kali aku menangis begitu hebatnya didepan ibu, perlahan ibu bertanya “kamu kenapa..?” namun aku hanya mampu menggeleng, tanda bahwa aku tak sanggup berucap sepatah katapun tentang rasa sakit ini.
***
Hari ku lalui, mulai ku coba untuk bangkit.

Akh.. itu bukan hal yang mudah bagiku. Aku terjatuh terlalu dalam. Rasanya tubuhku tak lagi bertulang, mataku sayu sembab tanpa rupa, dan hatiku masih saja berkecamuk, rasanya aku ingin membencinya, agar aku dapat membunuh rasa yang terselip terlalu dalam dihatiku. Lalu ku putuskan, tak perlu ku coba menolak rasa ini apalagi membunuhnya, karena itu percuma! Maka sekarang teruslah pura-pura untuk selalu baik-baik saja, hingga aku benar-benar lupa bahwa aku sedang berpura-pura. Aah.. sudahlah! Aku terlalu asik dengan rasa sakit, aku terlalu mendewakan cinta yang justru membodohkanku.
***
Tiba-tiba di tengah gelisahku, seorang pria dengan keluarganya datang ke rumahku. Saat itu aku sedang tidak dirumah. Satu pesan sms ku terima, namun ku abaikan, beberapa sms ku terima lagi, namun aku tak sempat membacanya, lalu ponselku mulai terus berdering hingga membuatku tidak nyaman di tempat rekan kerjaku. “maaf, saya angkat telepon dulu..” izinku.

“assalamu’alaikum, ada apa bu… rosa lagi ada rapat.” Sapaku mengawali pembicaraan. Kupikir ibuku akan menutup telepon, ternyata tidak. “ros, cepet pulang. Sekarang ya.” Tut..tut..tut..

Heran. Tidak biasanya ibu begini, kenapa ya. Pikirku.

Setelah tiba dirumah, aku masuk lewat pintu belakang, karena kulihat di depan sedang ada tamu. Aku tak banyak bicara. Aku benar-benar tidak mengerti, untuk apa ibu menyuruhku pulang? Tidak ada yang sakit, tidak pula ada sesuatu yang darurat hingga mendesakku harus pulang sekarang. Huuuft… ibu ini membuatku tidak tenang saja.

Tok tok tok.. suara ketuk pintu kamarku perlahan. “ros ada tamu didepan” tegur ibu pelan-pelan. Dengan perasaan heran, “itu tamunya rosa?” tanyaku masih ragu. Ibu tidak menjawab, hanya sedikit mengangguk tanda membenarkan pertanyaanku.

Tidak banyak orang yang ku kenal diantara mereka, hanya ibu yang berada di samping seorang laki-laki yang tak dapat kulihat wajahnya? Iya. Laki-laki itu terus menundukkan kepala. Sempat aku menaruh curiga, mereka ini siapa? Mau apa ketemu aku?
Dan ibu itu, ya aku memang kenal dengan ibu itu, ibu yang pernah mengobatiku sewaktu kecil. Tidak salah lagi, ibu itu dokter yang terkenal di zamannya. Lalu apa maksud mereka menemuiku? Tiba-tiba keringat dingin keluar dari sela-sela kulitku saat ibu itu mengatakan “rosa.. ibu berserta keluarga kesini bermaksud melamar nak rosa.”.

DEG. KAGET.

Melamarku? Aku hanya diam dan berpikir macam-macam.

Perjodohankah ini?-tanyaku dalam hati-
Namun kenapa dengan keluarga yang jelas2 keturunan Chinese. Apa mungkin seorang ayahku memilihkan seorang pria dengan latar belakang beda agama? Ahhh… Banyak yang ingin kutanyakan, namun aku hanya mampu diam. Ya hanya diam.
“laki-laki di samping ibu ini anak ibu, namanya singgih. Nah mas singgih ini sedang mencari jodoh, dia mengharapkan perempuan yang berhijab untuk di jadikan istrinya” lanjut ibu itu “dan kami bermaksud mengajak mbak rosa ta’aruf dahulu dengan mas singgih” aku hanya dapat merespon dengan senyuman.

Terjadilah percakapan panjang antara orang tuaku dengan keluarganya, aku dan laki-laki itu sama-sama terdiam dan tertunduk. Entah apa yang ia pikirkan tentangku. Yang jelas aku justru teringat tentang Rio. Rasanya aku ingin menceritakan ini semua kepadanya. Aku memang selalu menceritakan segala hal padanya, meski itu hal yang bodoh sekalipun. Itulah aku.

Kami bertukar identitas, ta’aruf secara syar’i langkah yang kami ambil. Aku tidak pernah sedikitpun ngobrol dengan laki-laki itu. Sesekali aku lirik dia. dia masih saja menyembunyikan wajahnya. Entah kenapa, aku merasa penasaran. Tidakkah ia penasaran dengan wajahku?

Mereka menceritakan tentang keluarga mereka, mereka berdua mu’alaf yang semua keluarganya masih beragama budha. Dia menjelaskan pekerjaan dan usahanya, dia menjelaskan kenapa akhirnya ia memilih islam sebagai agamanya, dia menjelaskan mengapa ia memilih datang kerumahku, sesungguhnya aku cukup terpana. Aku, yang sejak bayi beragama islam, aku, yang di adzani ketika pertama kali lahir didunia, namun aku hanya memiliki secuil keimanan dibanding laki-laki itu. Ada rasa malu, sedih, bahagia saat itu, menyadari ternyata hidayah allah itu nyata. Pikirku masih belum jelas arah jalannya. Bagiku ini masih terlalu cepat, bahkan airmataku belum kering.

Apa yang harus ku lakukan?

… bersambung Cinta Rosa Tanpa Rio 3…

***


Keep Calm And Smile ^_^
FNU

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...