Breaking News

Friday, February 7, 2014

Setiaku untuk istriku


Telah 2 tahun lamanya kami menikah, namun belum ada tanda-tanda Sang Pencipta menitipkan benih di rahimku. Aku benar-benar serba salah. Tiap kali mendengar berita seseorang hamil atau melahirkan, entah kerabat, entah selebriti, Ibu mertua selalu membahas masalah tersebut dan menyindir-nyindir aku yang belum juga memberinya keturunan. Aku dan Suami telah sama-sama memeriksakan diri ke dokter, dan hasilnya kami berdua baik-baik saja.

Suamiku anak pertama dari 3 bersaudara yang kesemuanya laki-laki. Sebagai anak tertua, wajarlah bila Ibu mertuaku begitu mengharapkan kehadiran cucu dari garis keturunan Suamiku sebagai penerus klan keluarga.

Yang membuat aku sangat sedih adalah Ibu mertua sering menyarankan agar Suamiku menikah lagi, bila aku memang tidak jua dapat memberinya keturunan. Aku tahu, walau dengan nada bercanda, sesungguhnya Ibu mertua serius, beliau benar-benar ingin menggantikan aku dengan wanita lain sebagai pendamping Suamiku.

Hubunganku dengan Ibu mertua memang kurang harmonis. Aku, bukanlah wanita yang diinginkan untuk menjadi menantunya. Aku bisa memahami ketidak setujuannya, karena di lihat dari sisi manapun, aku tidak sebanding dengan anaknya.

Suamiku berasal dari keluarga berada, terpandang dan berpendidikan. Sedangkan aku? Ayahku hanyalah seorang buruh di pabrik. Kalaupun aku dapat kuliah, itupun karena aku mendapat beasiswa dan akhirnya dapat bekerja di tempat yang cukup lumayan.

Akupun pernah ragu untuk menerima pinangannya. Aku merasa kami tidak ‘sederajat’. Aku takut keluarga besarnya tidak bisa menerima kehadiranku. Tetapi, Suamiku -calon Suami pada waktu itu- meyakinkanku bahwa keluarganya tidak mungkin bersikap seperti itu.

Akupun menerima pinangannya setelah berhari-hari tenggelam dalam sujud panjang di sepertiga malam. Ku pajatkan do’a sepenuh pengharapan agar Allah menunjukkan jalan yang terbaik bagiku. Akupun bermimpi melihatnya di rumahku sedang bercengkrama dengan kedua orangtuaku. Aku menganggap mimpi itu sebagai jawaban atas doa-doaku. Dan akhirnya kamipun menikah.

Setelah menikah, aku memang masih tinggal dengan Ibu mertua. Dua tahun, seatap dengan Ibu mertua, aku bisa merasakan ketidaksukaannya terhadapku. Ada saja yang salah denganku di matanya, sehingga aku sering menerima sidiran ataupun kemarahan-kemarahannya. Hal-hal kecil, yang aku rasa bukan masalah, ternyata menjadi masalah besar baginya.

Aku benar-benar pusing menghadapinya. Aku menghormatinya sebagai Ibu dari orang yang sangat aku cintai. Akupun berusaha sekuat hati untuk menyenangkannya, berharap aku dapat memenangkan hatinya. Tetapi, usahaku sia-sia. Ia tidak pernah menganggapku sebagai menantu. Aku hanyalah wanita asing yang menumpang tinggal di rumahnya. Jika Ia hendak pergi, baik untuk silaturahmi maupun untuk keperluan lain, Ia jarang sekali mengajak aku turut serta.

Suatu ketika, kerabat jauh datang, Suamiku tidak ada di rumah ketika itu. Akupun bergegas ke dapur membuatkan minuman. Ketika minuman ku suguhkan, Ibu mertua tidak memperkenalkan aku dengan kerabat tersebut sebagai menantunya. Akh, aku memang tidak pernah dianggap sebagai bagian dari keluarga ini, kecuali oleh Suamiku.

Hampir tiap malam aku menangis. Aku sedih dengan sikap Ibu mertua terhadapku. Tidak tahan dengan apa yang aku rasakan, akupun mengajak Suami untuk bicara serius. Kugenggam kedua tangannya erat, ku letakkan di dadaku.

“Maafkan aku, seandainya aku tidak dapat menjadi seperti yang kau harapkan.”

“Kok, tiba-tiba bicara seperti itu, ada apa Sayang?” Tanya Suamiku lembut seraya melepaskan tanggannya dari genggamanku, dan menatapku heran.

Ku hela nafas dalam-dalam. “Aku sudah berfikir masak-masak. Aku mencintaimu. Sangat bahkan. Tiada yang lebih memberiku ketentraman selain melihatmu bahagia.”

“Aku bahagia bersamamu.” Jawabmu segera, memotong pembicaraanku.

“Akupun bahagia bersamamu. Tapi, bukan itu yang hendak aku bicarakan. Kau pernah mengatakan bahwa demi bakti seorang anak terhadap ibunya, maka akan lebih baik jika anak tersebut menikah dengan seorang wanita yang tidak ia cintai demi keridhoan ibunya, karena harganya adalah surga. Daripada menikah dengan wanita yang ia cintai tetapi membuat ibunya murka, dan itu berarti neraka.”

“Aku ingat, tapi, apa hubungannnya dengan semua ini?” Tanya suamiku heran.

“Hmm…ini tentang Ibu. Kau tahu bagaimana sikapnya terhadapku. Aku ingin melihatnya bahagia. Sekian lama bersamanya, aku menyadari, aku bukanlah wanita yang ia harapkan untuk menjadi istrimu. Ia tidak benar-benar merestui pernikahan kita.”

“Jangan bicara seperti itu! Ibu menyayangimu, Ia hanya agak keras dan terlalu angkuh untuk memperlihatkan cintanya terhadapmu.”

“Dari sikap dan kata-katanya, aku tahu Ibu tidak suka kepadaku. Aku bisa merasakannya. Aku tahu, ia kecewa aku menjadi istrimu. Demi kebahagiannya, dan demi ketentraman batinmu, carilah wanita lain yang lebih layak untuk bersanding denganmu. Wanita yang pasti direstui ibumu. Lagipula, hingga saat ini, aku belum bisa memberimu keturunan.” Jawabku sambil terisak.

“Aku tidak mungkin mencintai wanita lain. Aku hanya punya satu hati. Untukmu. Don’t give up like this. I thought you love me so much.” Dan dipeluknya aku erat-erat. Aku semakin dalam menangis.

“Bersabarlah, pasti ada jalan keluar yang terbaik untuk kita semua. Lambat laun, hati Ibu pasti akan melunak. Ia wanita yang sangat baik dan berpikiran terbuka. Jika tidak, ia tidak mungkin membiarkan aku menikahimu. Lihat saja nanti. Mudah-mudahan Allah segera memberi kita keturunan. Mungkin itu akan menjawab semuanya.” Hibur suamiku.

Hatiku merasa lega, walau masih tertinggal sedikit rasa tidak nyaman.

*****

Setelah pembicaraan malam itu, Suamiku menjadi lebih romantis. Itu menghiburku tentu saja. Dan Ia pun jarang pulang larut malan lagi. Sesuatu yang sebelumnya jarang Ia lakukan. Ia sering mengajakku keluar untuk sekedar makan malam berdua. Ia benar-benar ingin memanjakan hatiku.

Hal itu, membuat Ibu mertua marah kepadaku. Dinasehatinya aku agar tidak foya-foya, hidup lebih hemat dan lain sebagainya. Mungkin Ibu cemburu, entahlah.

Perhatian Suamiku yang semakin besar menambah ketidaksukaan Ibu terhadapku. Suatu hari, aku merasa benar-benar kurang sehat, dan memutuskan untuk lebih banyak berada di dalam kamar untuk beristirahat. Akupun cuti dari tempatku bekerja. Entah apa yang sedang ada dalam pikiran Ibu, tiba-tiba ia memarahiku dan menyebutku sebagai menantu yang tidak sopan, tidak tahu diri, sudah menumpang, tapi malas-malasan.

Masya Allah, padahal, sekiranya aku sedang sehat, usai shalat tahajjud, aku tidak pernah tidur lagi. Ku lakukan ritual harianku, mecuci baju, menyiapkan sarapan, membereskan apa saja yang bisa kubereskan sebelum berangkat bekerja. Aku tidak pernah membiarkan pembantu di rumah Ibu mencuci pakaianku dan pakaian suamiku.

Kulakukan semua sendiri. Sehabis gajian, akupun tidak pernah lupa untuk segera berbelanja segala kebutuhan di rumah itu. Entahlah, kebencian terpendam yang Ia rasakan terhadapku mungin tidak dapat ditahannya lagi. Ya Allah, Sang Pemilik hati, lembutkan hatinya agar dapat menerimaku.

*****

Menjalani hari-hari seatap dengan Ibu mertua sekian lama, belum juga menghilangkan kekikukanku. Ritual makan bersama di satu meja, tetap membuat aku salah tingkah tidak karuan. Suatu malam, di hari ulang tahun Ibu, Ibu merencanakan makan bersama. Ibu memasak hidangan istimewa untuk mentasyakuri nikmat sehat yang telah Allah limpahkan kepadanya.

Semua keluarga inti berkumpul. Ibupun mengeluarkan perlengkapan makan yang tidak biasa kami pakai sehari-hari. Tanpa sengaja, ketika hendak menyusun piring-piring tersebut di meja makan, aku terpeleset sehingga pecahlah semua piring-piring yang ku bawa. Ibu marah sekali, dituduhnya aku sengaja merusak kebahagiannya.

Aku dimarahi seperti layaknya anak kecil yang nakal. Hatiku sakit sekali, terlebih Ibu melakukannya di hadapan orang lain. Selama ini, kendati sering marah terhadapku, jarang ada yang tahu. Biasanya ibu baik-baik saja ketika ada orang lain diantara kami.

Alhamdulillah, ternyata insiden tersebut memberi berkah tersendiri. Suamiku memutuskan untuk membeli sebuah rumah. Aku bahagia sekali. Sesuatu yang telah lama aku inginkan, tetapi tidak berani aku utarakan. Bukan, bukan karena aku tidak ingin melayani ibu. Hanya saja, aku merasa perlu berjarak dengannya, mungkin ini akan memperbaiki hubungan kami. Selain itu, dokter memang menyarankan agar aku lebih rileks, tidak terlalu lelah dan tidak banyak pikiran.

Empat bulan setelah menempati rumah tersebut, akupun hamil. Lengkaplah sudah kebahagiaanku. Aku pikir, kabar kehamilanku akan membahagiakan dan mengubah perasaan Ibu mertua terhadapku.

Ternyata aku salah. Kehamilanku justru membuatnya lebih membenciku. Jika kehamilanku tidak jua meluruhkan hatinya, aku tidak tahu lagi dengan cara apa aku merebut hatinya. Sungguh di dalam hati kecilku, aku sangat mencintainya. Bagaimana aku tidak mencintai orang yang dicintai suamiku? Akupun tidak ingin melukai hatinya, tapi apa yang bisa kulakukan lagi? Aku tidak pernah membantahnya, aku terima segala perlakuannya.

*****

Kini aku telah dikaruniai 2 orang putra. Aku merasa lebih bahagia karena memiliki 2 malaikat kecil yang senantiasa menyemarakkan hari-hariku. Akupun berhenti bekerja full time dan memutuskan bekerja paruh waktu sehingga aku tetap bisa mengurus anak-anak dan keluarga. Hubunganku dengan Ibu mertua tetap dingin. Dua orang cucu yang sudah kupersembahkan kepadanya tidak merubah perasaannya terhadapku. Ia mencintai anak-anakku.

Tentu saja, mereka darah dagingnya. Dan kamipun tetap saling mengunjungi. Terkadang Ibu mertua datang sekedar menjemput anak-anak untuk diajaknya pergi. Ia sungguh memanjakan anak-anak.

Suatu hari ketika libur sekolah, Suami meminta izin untuk membawa anak-anak pergi berlibur bersama Ibu mertua. Aku tidak diajaknya turut serta. Aku tahu diri, mungkin Ibu tidak ingin moodnya untuk berlibur rusak karena keberadaanku. Mulanya anak-anak menolak, mereka ingin aku turut serta.

Akupun membujuk, bahwa aku benar-benar tidak bisa ikut karena banyak pekerjaan yang harus ku lakukan. Merekapun mengerti. Tetapi, entah kenapa, perasaanku tidak tenang melepas kepergian mereka. Ingin rasanya mencegah, tapi aku tidak ingin membuat masalah. Akupun hanya bisa berdoa, semoga semua baik-baik saja.

Mereka pulang keesokkan hari. Aku bersyukur, tidak terjadi apa-apa. Aku yang melihat mereka kelelahan tidak berani bertanya macam-macam. Ku lihat mereka membawa begitu banyak oleh-oleh. Dari mulai pakaian, tas dan mainan. Aku cukup heran, oleh-oleh sebanyak ini? Tidak mungkin Ibu atau Suamiku yang membelikannya. Aku tahu, mereka cukup bijak dalam hal pengeluaran.

Sambil membongkar tas yang berisi oleh-oleh, mulailah anak-anakku berkicau tentang pengalaman berlibur mereka. Mereka bercerita tentang Tante Lia yang sangat baik. Tante Lia lah yang telah membelikan mereka oleh-oleh sebanyak itu. Tante Lia? Suamiku tidak mengatakan ada orang lain yang turut serta dalam liburan kemarin? Tiba-tiba hatiku bergemuruh tidak menentu.

Setelah puas berceloteh, akupun menyuruh anak-anak untuk beristirahat. Aku masuk ke dalam kamar. Ku lihat suamiku melepaskan penat di tempat tidur. Aku tidak dapat menahan gejolak batinku yang tidak karuan.

Aku ingin bertanya kepadanya siapa Tante Lia itu? Kenapa ia tidak mengatakan dari awal? Apa yang ia sembunyikan? Aku berusaha merangkai kata-kata agar pertanyaanku terdengar biasa dan normal.

“Bagaimana liburannya, Yah?” tanyaku hati-hati.

“Liburan? Biasa saja. Senang saja melihat anak-anak bahagia.”

“Tumben, Ayah membelikan begitu banyak oleh-oleh untuk anak-anak.” Ucapku.

“Oo, itu, bukan Ayah yang beli, tapi Lia.” Jawab suamiku terdengar kikuk.

“Lia? Memang kemarin Ayah berlibur bukan hanya berempat saja?” Tanyaku menyelidik.

“Ibu memang mengajak berlibur bersama karena ada kerabat jauh yang datang ke Jakarta, ya Lia itu.”Jawab suamiku lagi.

“Kenapa Ayah yang diajak menemani? Khan masih ada yang lain.”

“Ayah juga tidak tahu. Tapi Ibu yang mengajak. Tidak enak menolak. Nanti Ibu tersinggung. Sudahlah, jangan curiga, Ayah tidak melakukan apa-apa.”

“Bunda tidak curiga, Bunda hanya heran.”

“Heran apa cemburu?” Tanya suamiku.

“Kalau Bunda cemburu, apa salah?” Kataku balik bertanya.

Suamiku tidak menjawab, Ia bangkit dari tempat tidur, menghampiriku dan berbisik di telingaku, “Ya, Bunda salah… kalau tidak cemburu.”

Dikecupnya pipiku,”I love you and always will.”

Suamiku memang paling tahu caranya membungkam mulutku.

*****

Aku mengira Ibu mertuaku sudah bisa menerima aku apa adanya, dan membiarkan kami hidup dalam damai. Hingga, suatu hari Suamiku tergolek sakit dan harus di rawat di Rumah Sakit karena thypus. Tidak ada yang mengurus anak-anak, sehingga aku tidak dapat sepanjang hari berada di Rumah Sakit. Karenanya Ibu mertua lebih banyak mendampingi Suami. Aku sangat bersyukur dan merasa lebih tenang karena Suami ada yang menemani.

Tetapi, ketenanganku terkoyak, karena suatu siang ketika aku datang ke Rumah Sakit, ku lihat seorang wanita cantik berada di kamar tempat Suamiku dirawat, bersama Ibu mertua. Aku masuk dengan perasaan masgul. Ku hampiri Ibu mertua yang sedang duduk di sofa, ku cium tangannya, dan ku salami wanita tersebut.

“Ratna, kenalkan, ini Lia.” Kata ibu Mertua memperkenalkan wanita cantik itu. Ya Tuhan, rupanya inilah wanita yang ketika itu pergi berlibur bersama suami dan anak-anakku.

“Dia sengaja datang dari jauh untuk menjenguk Irwan. Kau tidak perlu repot-repot ke rumah sakit, kau urus saja anak-anakmu, biar Ibu dan Lia yang mengurus Irwan di Rumah Sakit.” Lanjut Ibu mertua.

“Tidak mengapa Bu, saya tidak merasa repot. Memang sudah kewajiban istri mengurus suaminya.” Jawabku.

Bagaimana mungkin, aku membiarkan wanita lain mengurus suamiku. Hatiku berkata.

“Sudahlah, tidak usah melawan. Dibantu, bukannya berterimakasih.” Jawab Ibu mertuaku sewot.

Kemudian Lia angkat bicara,”Tenang Bu, jangan terlalu keras suaranya, nanti Kak Irwan bangun, kasihan diakan perlu ketenangan.” Diambilnya tangan ibu dan diusap-usapnya dengan lembut, Ibupun tidak menolak. Duh, sungguh, aku cemburu melihat adegan itu. Akupun ingin bisa mengusap tanganmu, memelukmu, Ibu.

Tak ingin larut dalam kesedihan, akupun beranjak menuju ke tempat tidur tempat suamiku terbaring. Suamiku…tahukah kau apa yang bergejolak dalam batinku?

*****

Alhamdulillah, suamiku tidak perlu berlama-lama di Rumah Sakit. Tapi, Ia masih harus beristirahat di rumah. Yang membuatku terganggu adalah, selama Suamiku beristirahat di rumah, Ibu mertua tiap hari datang ke rumah. Jika Ia datang sendiri, tidaklah mengapa. Tapi Ia datang bersama wanita itu.

Dan mereka bersikap seolah-olah rumah tempat kami tinggal, seperti rumah mereka sendiri. Ku lihat Ibu Mertua bersama Lia tidak sungkan-sungkan bolak-balik masuk ke kamar pribadi kami. Aku sungguh terluka. Jika Ibu datang dan hendak tidur di kamar kami sekalipun, aku tidak berkeberatan. Tapi, melihat wanita lain masuk ke kamar kami? Aku benar-benat tidak bisa menerima. Aku merasa tidak dihargai. Tapi, apa yang bisa kulakukan?

Anak-anakpun terlihat senang melihat Lia datang. Mereka memanggilnya Tante. Dan Liapun terlihat menikmati keadaan. Dihadiahinya anak-anakku setiap hari dengan segala macam makanan dan mainan. Aku ingin melarang, tapi aku tidak ingin ribut dengan Ibu Mertuaku.

Aku hanya berdoa sungguh-sungguh, agar Allah memulihkan kesehatan Suamiku segera. Aku tidak tahan berlama-lama dalam kondisi ini.

Seminggu lamanya, mereka bolak-balik ke rumah kami. Lia wanita yang cantik, cerdas, lembut dan menyenangkan sebenarnya. Aku rasa, setiap laki-laki yang berhubungan dengannya tidak kuasa untuk tidak jatuh hati kepadanya. Tetapi, di umurnya yang sudah tidak remaja lagi, kenapa Ia belum juga menikah? Aku yakin, pasti sudah banyak laki-laki yang datang menawarkan diri untuk jadi pendamping hidupnya. Siapa yang ditunggunya? Suamikukah?

Dalam sebuah kesempatan ketika ia berkunjung, Lia bercerita, Ia dan Suamiku melewati masa kanak-kanak bersama. Sesuatu yang tidak pernah diceritakan Suamiku. Aku hanya tahu, Lia adalah kerabat jauh dari garis Ibu mertua. Aku tidak pernah tahu selain kerabat, merekapun dulunya bertetangga.

Aku tidak pernah tahu meraka sedemikian akrab di masa kecil. Ia menyebut Suamiku sebagai “A man every women wanted”. Lia mengatakan bahwa aku adalah wanita yang beruntung, setiap wanita yang mengenal Suamimu, pasti ingin bertukar tempat denganmu.

Kata-kata yang membuat aku merinding dan bergelut dengan rasa takut. Apa maksud Lia berkata seperti itu? Jangan-jangan,Ia berniat merebut Suamiku. Aku terus beristighfar dan memohon agar Allah menjaga dan melindungi bahtera rumah tangga kami dari segala cobaan dan godaan.

*****

Suatu malam ketika bercengkrama di ruang keluarga. Kuberanikan diri untuk bertanya, “Ayah, kok Ayah tidak pernah bercerita tentang Lia?” Tanyaku hati-hati.

“Tentang Lia? Memang tidak ada yang harus Ayah ceritakan. Kenapa Bunda?”Suamiku balik bertanya.

“Lia bercerita, bahwa Ayah dan Lia melewati masa kanak-kanak bersama.” Lanjutku.

“Ia benar. Tapi, apa istimewanya? Dan apa pentingnya Ayah ceritakan hal tersebut kepada Bunda?” Tanyanya lagi.

Akh…laki-laki. Betapa tidak pekanya. Apakah Ia tidak bisa merasakan bahwa Lia menaruh perhatian yang besar terhadapnya. Apa Ia tidak bisa melihat tatapan cinta dari matanya yang tidak dapat ia sembunyikan. Dan apa Ia tidak bisa merasakan kecemburuan, kegelisahan dan ketakutanku?

“Apa Ayah tidak merasakan kalau Lia menaruh perhatian yang besar terhadap Ayah?” Tanyaku lebih dalam.

Suamiku tidak menjawab. Dipandanginya aku lekat-lekat. Sebuah pandangan yang membuatku salah tingkah. “Bunda, if you are worry, let me tell you, you’ll always be the only one I ever wanted. There will never be another to replace you. Till deaths do us a part, I will always love you.”

Hmm.. Maafkan aku, aku hanya begitu takut kehilanganmu.

*****

Hubunganku dengan Ibu mertuapun membaik, akhirnya. Ini adalah saat-saat yang kunanti. Aku jadi optimis rumah tanggaku akan baik-baik saja. Walau tidak terlalu sering, kami saling mengunjungi. Pagi ini Ibu mertua berkunjung. Ia meminta agar Suamiku diperbolehkan menemaninya mengunjungi kerabat-kerabatnya di sebrang. Rencananya mereka akan berada di sana selama 1 minggu.

Aku tidak berkebaratan. Bagaimanapun Suamiku adalah anaknya. Lagipula, kapan lagi dan dengan cara apa aku bisa menyenangkan hati Ibu, kecuali dengan meluluskan segala keinginannya.

Suamiku pun berangkat, di Minggu sore. Dan rencanannya akan kembali, pada hari Senin di minggu berikutnya. Betapa waktu berjalan demikian lamban. Menanti-nanti Suamiku kembali sungguh menyiksa batinku. Tidak biasanya Ia pergi tanpa mengirim kabar.

Setiap kali aku telpon, selalu terdengar kata-kata, nomor yang anda hubungi berada di luar jangkauan area, dan Iapun tidak berusaha menelpon ku. Apa yang terjadi? Tidakkah Ia kangen anak-anak? Tidakkah Ia ingin tahu kabar mereka? Ia hanya memberi kabar di hari pertama. Mengatakan Ia baik-baik saja dan telah tiba dengan selamat. Setelahnya, aku tidak lagi mendengar kabarnya.

Bip…bip…bip…hp ku berbunyi, ada sms. Alhamdulillah, dari Mas Irwan.

“Assalamu’alaikum. Bunda, Ayah sudah sampai di bandara, Ayah mengantar ibu dahulu, baru pulang. Miss you.’’ Begitu tulisan di layar Hp-ku.

Aku senang sekali. Kusiapkan makan malam untuk Suami tercinta dan ku persiapkan diri untuk menyambutnya. Ketika sampai di rumah, tanpa berkata apa-apa, Suamiku langsung masuk kamar. Kubereskan seluruh bawaannya dan tak lama kemudian aku susul Ia ke kamar.

Ketika aku membuka pintu, kudengar dengkuran halusnya. Aku kecewa, seminggu tidak bertemu, tidakkah Ia ingin tahu kabarku? Kubesarkan hatiku, ah…mungkin Ia sangat lelah. Akupun urung masuk ke kamar.

Aku tadi hanya membereskan sekedarnya barang-barang bawaan suamiku, aku belum membongkar isi kopernya. Daripada iseng, ku buka koper Suamiku. Ku lihat beberapa helai pakaian yang memang Ia bawa dari rumah. Mataku tertuju kepada sebuah bingkisan yang telah dibuka. Isinya sebuah kemeja berwarna biru– warna kesukaan suamiku- bergaris-garis kecil vertical. Di dalamnya ada sebuah kartu ucapan.

Dear Irwan,

Thank you for coming. Thank you for the joy you bring into my life. I feel more a live. Some things, after all, have never changed. My love for you. You’ve been my dream. I’ll be right here waiting for you.

Lia

Mataku terasa panas. Dadaku terasa sesak. Jadi? Suamiku pergi menemui Lia? Kenapa tidak Ia buang kartu ucapan ini? Apakah Ia sengaja, agar aku membacanya? Ku habiskan malam itu dengan tangis yang tidak juga berhenti mengalir. Mereka menghianatiku. Teganya suamiku. How come?

*****

Keesokkan pagi, aku bangun dengan mata yang sembab. Usai shalat shubuh, kubuatkan sarapan untuk kedua buah hatiku dan membereskan bekal untuk di bawa mereka ke sekolah. Kali ini, Suamiku tidak sarapan bersama anak-anak seperti biasa. Ia hanya keluar dari kamar di pagi hari, memberi pelukan sayang dan melepas rasa kangen kepada buah cinta kami dan kembali masuk kamar.

Pukul 06.00 wib merekapun berangkat ke sekolah dengan mobil jemputan. Pagi ini, Suamiku terlihat masih ingin berleha-leha. Entahlah, Ia akan berangkat kerja atau menambah cuti sehari untuk beristirahat.

Aku sudah tidak tahan ingin membicarakan perihal kepergiannya dan kartu ucapan dari Lia. Aku sibuk menata perasaanku yang campur aduk. Aku mondar-mandir tidak karuan. Dari ruang tamu, ke dapur, ke ruang tamu lagi, ke dapur lagi. Aduuuh… pikiranku kacau. Akupun memutuskan menuju ruang keluarga. Aku duduk di sofa, tapi aku tidak merasa tenang. Ku coba membaca sebuah majalah, tapi pandanganku kosong, entah apa yang ku baca.

Tidak berapa lama, kucium aroma tubuh dari seseorang yang kurindukan dan kubenci disaat yang bersamaan. Kurasakan usapan lembut di pundakku, dan mendaratlah sebuah kecupan hangat di pipiku. Aku tidak bergeming. Tiba-tiba aku merasa demikian marah terhadapnya. Mas Irwan duduk di sampingku.

“Hmm…Ayah kangen banget nih sama Bunda.” Katanya mesra.

“How could you acting like nothing happens? I was worried and you’re not even bothered to call me. Are you so busy with that woman and forget that you have family here? Why you betrayed me?” Cerocosku dengan emosi.

“Bunda lagi ngomongin apa sih?” Tanya suamiku bingung.

“Sudahlah! Ayah nggak usah pura-pura. Bunda sudah baca kartu ucapan dari Lia. Dan kenapa Ayah tidak terus terang, bahwa kerabat yang mau Ayah dan Ibu datangi itu Lia? Dan kenapa juga Ayah tidak menelpon Bunda selama di sana.” Jawabku masih dengan suara yang agak tinggi.

“I see…I can explain…kalau Ayah bilang terus terang mau mengunjungi Lia, Ayah takut Bunda tidak tenang dan berfikir macam-macam. Ini kunjungan balasan. Lia sedang sakit. Bukankah Lia datang mengunjungi Ayah ketika Ayah sakit? Ini juga permintaan Ibu.

Maafkan Ayah jika hal ini melukai hati Bunda. Mengenai kartu ucapan itu, Ayah tidak bisa menolak Lia memberikan itu kepada Ayah. Jikapun Lia memiliki perasaan khusus terhadap Ayah, tidak berarti Ayah memiliki perasaan khusus terhadapnya khan?” Jelasnya panjang lebar. Direngkuhnya bahuku.

“Apa Bunda masih meragukan cinta Ayah? Bunda tidak yakin akan kesetiaan Ayah? Did you remember, on our wedding day, I did promise you that I’ll faithful to you, I will love you and only you as long I life. Till deaths do us apart? I meant it. ” Ucap Suamiku meyakinkan.

Hatiku perlahan-lahan mencair. Tapi aku tetap memasang wajah cemberut. Masih belum bisa menerima penjelasannya. “Bunda masih mau ngambek terus? Yakin? Udah seminggu loh kita nggak ketemu? Nggak nyesel nih?” Goda suamiku.

Ah…Suamiku. Aku percaya padamu, tapi aku tidak percaya pada perempuan itu. Selain itu, Ia mendapat dukungan penuh dari Ibumu. Mungkin kau tidak tergoda dengan rayuan Lia, tapi, apa kau mampu bertahan dengan rayuan Ibu?

*****
Mungkin, kekhawatiranku tidak beralasan. Ternyata, hati Ibu melunak. Akh, senangnya. Ibu sekarang sering mengajak aku dan anak-anak makan bersama. Bahkan kami pernah pergi berdua membeli baju untuk anak-anak dan Mas Irwan. Ibu juga membelikan aku sebuah baju. Sebuah baju yang indah. Ibu sendiri yang memilihkannya untukku. Mulanya aku menolak.

“Ibu, baju ini terlalu bagus. Dan harganya mahal sekali. Ratna tidak ada rencana menghadiri perayaan apa-apa dalam waktu dekat.” Kataku, merasa tidak enak.

“Tidak apa-apa, mungkin suatu saat kau akan memerlukannya. Simpan saja dulu.” Jawab ibu.

“Terimakasih, Bu.” Ucapku, tulus.

Yang membuat aku terkejut, Ibu juga membelikan aku gelang dan cincin emas. Aku bersyukur Ibu sudah berubah. Mungkin, Ia ingin membayar rasa bersalahnya kepadaku dengan membelikan aku barang-barang mewah ini. Akh, Ibu, perubahan sikapmu sudah cukup bagiku. Aku tidak memerlukan semua ini sebenarnya.

*****

Sekali lagi Ibu meminta izin mengajak Mas Irwan pergi beberapa hari. Lagi-lagi untuk mengunjungi kerabat Ibu di sebrang sana. Aku merasa tidak enak jika tidak memberi izin. Selama ini, Ibu sudah berubah. Tapi, bagaimana seandainya mereka mengunjungi Lia lagi? Aku utarakan keberatanku kepada Suamiku. Feelingku nggak enak.

Suamiku meluruhkan hatiku dengan mengatakan,”She’s going to be sad. I won’t let her down. Let her happy in her own way. Please!”

Kulepas kepergian suamiku dengan hati yang gelisah. Hanya dua hari, begitu katanya.

*****

Suamiku tiba kembali di rumah, di waktu malam yang gerimis. Tergesa-gesa Ia masuk ke dalam rumah.

“Kita perlu bicara.” Seraya digandengnya tanganku menuju ke ruang keluarga.

“Ada apa Ayah?” Tanyaku cemas.

“Besok, Ibu mengundang kita untuk makan malam di rumah. Bagaimana? Kau bisa?” Tanya suamiku.

“Insya Allah. Tapi, ada acara apa?” Tanyaku kembali.

“Itulah yang ingin aku bicarakan.” Ucap Suamiku seraya menghela nafas. Ia terdiam cukup lama.

Akupun terdiam menanti-nanti apa yang hendak dibicarakannya.

“Kemarin, Aku dan Ibu mengunjungi Lia dan keluarganya.” Suamiku lirih berkata. Sudah ku duga. Jawab batin ku. Dan…jantungku berdetak kian tak menentu.

“Aku dan Ibu datang untuk melamar Lia menjadi istriku.” Lanjutnya lagi.

Dar!!! Kata-kata Suamiku bagai halilintar yang menyambarku. Aku tak sanggup berkata apa-apa. Baru tiga bulan yang lalu, ditempat yang sama, Ia meyakinkanku akan janjinya untuk selamanya setia. Tetapi sekarang? Aku benar-benar tidak siap dengan semua ini. Kurasakan darah yang mengalir deras hanya ke kepala. Jantungku terasa sakit bagai ditusuk belati.

Tak kuasa menahan rasa sakit, ku tinggalkan Suamiku dan berlari menuju kamar. Kuhempaskan tubuhku di tempat tidur dan menangis pilu. Rasanya aku ingin mati saja. Ya Allah, kuatkan hati hamba. Apa yang terjadi ya Allah? Aku terus beristighfar dan memohon kekuatan dari-Nya. Feelingku benar. Ketakutan-ketakutanku menjadi kenyataan. Lalu apa arti ucapannya bahwa aku adalah satu-satunya wanita yang ia inginkan? Bahwa tidak ada seorangpun dapat menggantikan aku di hatinya? Ya Allah, tolonglah hamba.

Ku lihat suamiku terduduk di tepi ranjang. Diraihnya tanganku dan diusapnya lembut.

“Maafkan aku. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Kau tetap cintaku dan selamanya akan menjadi satu-satunya wanita yang aku cintai. Ini semua di luar kehendakku. Lia sakit parah. She’s dying. Ia hanya memiliki sisa waktu 2 tahun untuk hidup. Aku tidak bisa menolak permintaan Ibu.

Ia mengatakan tidak akan pernah meminta apa-apa lagi seumur hidupnya, Ia hanya minta Aku menikahi Lia. Sebenarnya aku tidak menginginkannya. Tapi, aku tidak punya pilihan. Aku harap engkau mengerti. Aku tahu ini berat, tidak hanya bagimu, bagiku juga. Melukaimu sama saja melukai diriku sendiri.” Ucap Suamiku dengan airmata yang telah membasahi pipinya.

Ingin rasanya ku tuntut janjinya dahulu. Janji setia selamanya. Till death do us a part. Hatiku sakit, tapi aku juga kasihan melihatnya. Belum pernah aku melihatnya menangis seperti ini.

“Why you didn’t tell me about this before you leave?”

“I can’t. I don’t want to hurt you.”

“But, you are hurting me now.”

“I’m really sorry. You know I have no choice.”

Kami terdiam cukup lama. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Akhirnya suamiku memecah keheningan. Dibawanya aku dalam pelukannya.

“I beg your forgiveness. I wish I don’t have to do that. One thing for sure, she might have my body, but she won’t’ have my love and my soul, cause it’s belong to you. I love you with all my heart. Marrying you was the best decision I ever made. No one will replace you in my heart. I just do my job right now.”

I’m still hurting inside. You and that woman? Ukh…

“Kapan Ayah akan menikah lagi?” tanyaku parau.

“Dua minggu lagi.”

Ya Tuhan, di saat aku optimis rumah tanggaku baik-baik saja. Ibu, yang belakangan begitu baik padaku, ternyata ada udang di balik batu. Tidaaak!!! Jerit batinku.

*****

Sesudah itu, aku merasakan kehidupan pernikahan yang garing. Merasakan kemelut batin, yang belum juga usai. Antara ingin mempertahankan atau melepas. Mempertahankan? Sanggupkah aku melihatnya dengan wanita lain? Melepas? Bagaimana anak-anak? Akupun masih sangat mencintai Suamiku. Dan Iapun terlihat sangat sedih dan tertekan. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?

Akupun menghitung hari. Antara siap dan tidak siap. Aku memang pernah menyuruhnya menikah lagi dengan wanita lain yang direstui ibunya. Tapi itu dulu, ketika aku dalam keputusasaan karena belum dapat memberi keturunan. Sekarang, ketika semua baik-baik saja, rasanya aku tidak ingin. Salahkah? Tapi, inilah takdir yang harus aku jalani. Suamiku berjodoh dengan wanita lain.

Berita rencana pernikahan kedua Suamiku menyebar demikian cepat. Keluarga dan sahabat-sahabatku menganggap aku sudah gila karena aku merestui pernikahan Suamiku. Kendati sudah kuceritakan asbab Suamiku menikahi wanita tersebut, mereka tetap menganggapku tidak waras.

*****

Entah apa yang ada di benak Ibu mertuaku, Ia memintaku membantunya mempersiapkan segala hal. Kartu undangan, bawa-bawaan, catering, dll. Ya Allah, kenapa ia menyiksaku seperti ini? Tidak cukupkah dengan merebut Mas Irwan dariku? Demi baktiku padamu Ibu dan rasa hormatku, kutepiskan segala kepedihan ini, aku akan lakukan apa yang kau kehendaki.

Hasil dari musyawarah keluarga, mereka akan menikah di rumah Ibu mertuaku. Pertimbangannya, seluruh sanak family dari kedua belah pihak banyak yang sudah tinggal di Jakarta. Selain itu, Lia memang akan langsung tinggal dengan Ibu setelah menikah. Menempati kamar yang pernah aku tempati bersama Suamiku.

*****

Tibalah di hari yang tidak pernah aku harapkan kedatangannya. Pagi ini, Suamiku akan melangsungkan akad nikah dengan wanita pilihan Ibunya. Segalanya telah dipersiapkan. Kedua wanita yang mencintai Suamiku-Ibu Mertuaku dan Lia-, meminta agar akulah yang menyiapkan kamar pengantin. Kata mereka akulah yang paling tahu selera Suamiku.

Mereka benar-benar ingin membuatku menderita. Ibu mertuakupun meminta aku memakai pakaian dan perhiasan yang pernah dibelikannya dahulu. Ternyata…Ibu telah merencanakan semuanya sejak lama.

Satu persatu sanak famili datang. Ku lihat mereka memandangku dengan perasaan iba. Akh, seandainya boleh memilih, aku tidak ingin berada di tempat ini, saat ini. Aku tidak ingin ditatap dengan pandangan penuh kasihan seperti itu. Tapi, keluarga besar Lia dan Ibu memintaku. Mereka ingin semua orang tahu bahwa aku merestui pernikahan Suamiku.

Pukul 08.30, sanak family telah berkumpul di ruang tamu, di area yang dijadikan tempat melangsungkan akad nikah. Sebuah meja pendek diletakkan di tengah ruangan. Ku lihat Suamiku berjalan gugup menuju meja tersebut. God, he looked good.

Tapi juga sangat kurus. Akh…beberapa hari ini, aku memang tidak terlalu memperhatikannya. Aku sibuk dengan diriku sendiri. Aku yang berada di ruang atas, melihatnya mengedarkan pandangan kesekeliling. Akukah yang dicarinya?

Aku merasa sendiri di tengah keramaian. Hatiku makin perih. Pukul 09.00 tepat, Ijab Kabul akan dilaksanakan. Waktu…berhentilah, ku mohon. Jangan berputar lagi. Jangan ambil Suamiku dariku.

My God, it’s completely hard. After this ceremony over, my life will never be the same again. Oh God, Please help…I think, I can’t live my life happily knowing my dear husband with someone else. I am hurting so deeply.

Teng! Teng! Teng! Jam di ruang tamu berdentang 9 kali. Tanda Ijab Kabul akan segera dimulai. God, I want to die. Tidak sanggup menahan rasa, akupun bersembunyi. Aku tidak ingin melihat apa-apa, aku tidak ingin mendengar apa-apa. Wahai malaikat-malaikat, bawalah aku terbang menjauh dari tempat ini. Aku tidak kuat…

Aku tidak tahu, berapa lama aku berada dalam kondisi antara sadar dan tidak sadar. Tiba-tiba aku mendengar suara gaduh di bawah sana. Ku coba melihat apa yang terjadi.

Seorang laki-laki berpakaian rapi dengan kalung melati yang masih melingkar di lehernya, sedang digotong. Apa yang terjadi? Akupun berlari ke bawah.

Ku dengar Ibu mertuku berteriak memanggil-manggil nama Suamiku. Kulihat semua orang panik. Kucari-cari Suamiku, ternyata Ia telah dilarikan ke Rumah Sakit. Tanpa pikir panjang akupun menyusulnya.

*****

Setelah ditangani tim medis beberapa jam, aku diberi kesempatan menjenguknya. Ku lihat Ia terbaring lemah dengan baju rumah sakit yang kini membungkusnya. Aku berdiri di tepi ranjang. Ku kecup lembut keningnya. Ia membuka matanya perlahan. Akh, aku melihat pancaran cinta dan kerinduan di matanya. Kugenggam erat tangannya.

Ibupun masuk ke dalam ruangan. Ia memintaku keluar. Tetapi, Suamiku menahan tanganku. Dipandangi Ibunya seraya menggelengkan kepala. Akupun urung beranjak pergi.

Kami bertiga berada dalam keheningan, terdiam cukup lama. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan atau bicarakan. Ibu tidak berhenti menangis di sisi Suamiku. Tiba-tiba Suamiku memberi isyarat agar aku mendekat.

“Don’t leave me alone. I don’t have much time.” Ucapnya lirih, hampir tak terdengar.

“Don’t say that. I still need you. The kid needs you.” Bisikku di telinganya.

“I ever promised you. Till death do us a part, didn’t I? And I’ll keep my promise.”

Setelah mengatakan itu, Suamiku tertidur… selamanya…Dunia terasa gelap, aku menangis. Ibu mertuaku menjerit-jerit histeris kemudian tak sadarkan diri.

*****

Rumah Ibu yang telah dipasangi tenda dengan kursi-kursi yang berjajar rapi, sedianya untuk menyambut para tamu yang akan memberi restu pernikahan Suamiku. Harusnya mereka datang dengan wajah gembira, kini mereka datang dengan wajah duka. Pelaminan dan segala bentuk dekorasi yang menandakan ada pesta pernikahan telah dirapikan.

Lia menghampiriku. Rias wajahnya sudah tidak jelas, terhapus oleh airmata. Baju pengantin yang dia kenakan juga sudah berantakan. “Mba, maafkan saya. Maafkan kesalahan saya.” Ucapnya lirih.

Aku pernah membencinya. Tapi sekarang tidak lagi. Dia mungkin lebih menderita kini. Setiap orang memandangnya dengan pandangan seolah-olah dialah penyebab kematian Suamiku. Aku diam saja, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Dan Iapun berlalu.

Aku beranjak ke kamar tidur Ibu, ingin melihat kondisinya. Kulihat Ibu terbaring lemah. Kuhampiri beliau, dan duduk di sisinya. Ku usap lembut tangannya, sesuatu yang ingin kulakukan sejak lama.

“Ratna, maafkan Ibu. Seandainya Ibu tahu akan jadi seperti ini…Ibu tidak akan melakukannya. Maaafkan Ibu atas semua penderitaanmu.”

“Sudahlah Ibu, tidak ada yang perlu dimaafkan, ini semua takdir yang Maha Kuasa.” Jawabku berusaha bijak.

“Ah, seandainya Ibu tidak egois seperti itu, mungkin Irwan tidak pergi dalam kesedihan. Ibu menyesal. Dia sangat mencintaimu, Ratna. Ibu memaksanya. Ibu memaksanya…Ibu…”

“Ssst…sudah Bu, tidak usah diteruskan. Saya mengerti. Sekarang Ibu istirahat saja.”

Kami berdua berpelukan, berbagi kesedihan dan juga kekuatan. Kehilangan orang yang sama-sama kami cintai telah menyatukan hati kami.

*****

Kupikir, melihatmu menikahi wanita lain akan menjadi penderitaan terbesar dalam hidupku. Ternyata kepergianmu untuk selamanya lebih menyakitkanku. Aku masih membutuhkanmu, anak-anak masih membutuhkanmu. Aku tidak berhenti memikirkanmu. I want you back. I miss you so much.

Kudatangi pusaramu yang basah oleh hujan tadi malam. Ku lihat Ibu duduk bersimpuh di samping nisanmu. Seandainya kau bisa melihat, kau akan bahagia. Ibu sekarang berubah, Ia sangat mencintaiku kini. I promise you, I’ll take care of her. I’ll try to make her happy like you always did. You don’t have to be worry.

Now, I come here to vow, I’ll faithful to you, I will always love you and only you as long I life, and I meant it. No one will replace you.

Kutatap Ibu yang semakin ringkih. Semua telah terjadi, tidak ada yang perlu disesali. Terkadang kita harus kehilangan sesuatu yang sangat berharga untuk dapat menghargai apa yang ada. Dan kepedihan yang kurasakan terasa begitu agung mengetahui kesetianmu terjaga, Till death do us a part.
 
 
 
 
 


0 komentar:

Thursday, February 6, 2014

Part 2: Cinta Rosa Tanpa Rio (CFTF)

***

Malam ini aku terbangun lagi, ingin kuadukan rasa sakit, takut dan segala harapku kepada sang Rabbku, saat ku buka mata, terbayang lagi sosok Rio, tak kuat lagi dan aku menangis lagi “Rio..” berkali-kali ku panggil namanya.

Ku hela nafas panjang lalu ku basuh ragaku dengan air wudlu. Ku pakai mukena dan ku gelar sajadahku. Dalam sujud solat malamku, menangis adalah hal yang tak mampu ku tahan. Allah Engkau tahu air mata ini, Engkau tahu sakit ini, bahkan Engkau tahu semua gelisahku. Aku menghadapMu. Ingin bertemu denganMU, kumohon terima solatku ya Rabb. Ampuni aku larut dalam doa panjang “astaghfirullahal’adzim”, hanya keluh rio yang ku utarakan.
***
Aku memang sudah lama berpisah dengan Rio, namun nama dan wajahnya tak henti mengusik hariku, ku coba alihkan, namun ia tetap mengikuti.
Rindu.
Aku merindukan sosok yang menyenangkan darinya, sosok yang selalu mengajariku banyak hal, bahkan dia tak pernah tau, betapa senangnya aku bertanya padanya tentang hal sepele sekalipun, iya, aku memang senang terlihat bodoh ketika didepannya. Mungkin aneh, namun begitulah kenyataannya, aku senang ia mengajariku banyak hal. Ketika dia cubit hidungku, ketika dia mengejekku, ketika ia menjailiku. Aku bahagia bersamanya.

Saat ini, entah dari mana asalnya, aku begitu sangat merindukannya. Aku menangis seperti anak kecil. Tak mampu menahannya lagi.

Kutemui ibu yang tengah duduk bersila, memutar tasbih, dan bertafakur. Sesekali ku lihat ibu menghela nafas panjang lalu melihatku, mungkin seribu tanda tanya menghampiri, mungkin juga ibu sedang menghiasi doanya dengan namaku. “rosa..” lirih ibu.

Tangisku tertumpah, lalu mendekat dan ku ciumi kaki ibu, ku peluk ibu.

Terang ibu semakin mengkhawatirkanku, seorang rosa menangis? Mungkin itu yang terfikirkan oleh ibu.

Aku memang lebih memilih menutupi sedihku sedari kecil. Aku sosok yang sangat pemalu jika menangis didepan keluargaku, kakaku bisa mengolokku habis-habisan jika tahu aku menangis, atau adik-adikku pasti akan menertawakanku lalu menganggapku sebagai adik mereka. Sangat tidak lucu bukan? dari kecil aku memang sosok yang bandel. Itulah yang mereka kenal tentang aku. Beranjak dewasa, aku di kenal sosok pendiam, tak banyak mengeluhkan tentang masalahku, terlebih tentang cowok. Namun mereka tak pernah tahu, sosok yang mereka kenal justru sosok terlemah diantara mereka, aku mudah menangis. Menangis di depan cowokku, itulah tempat yang paling nyaman menurutku. Huuuft… aku merindukan menangis didepannya, saat ia usap tudung kepalaku, ia tak perlu mengatakan apa2, hanya cukup memandangku, itu sudah membuatku tenang. Rio aku merindukanmu. 

“ibu, maafkan aku. Bila ayah dan ibu sudah merindukan sosok pendamping untukku, aku sudah pasrah. Aku pikir, aku memang tak pandai memilih, pilihanku selalu salah, kini kuserahkan segalanya pada ayah dan ibu, aku takkan membantah lagi, karena sungguh bahkan aku tak tahu apakah aku masih bisa jatuh cinta lagi… maafkan aku ibu..” pelukku mungkin sedikit membuat ibu sesak, namun ia memilih memelukku, terus memelukku. Untuk pertama kali aku menangis begitu hebatnya didepan ibu, perlahan ibu bertanya “kamu kenapa..?” namun aku hanya mampu menggeleng, tanda bahwa aku tak sanggup berucap sepatah katapun tentang rasa sakit ini.
***
Hari ku lalui, mulai ku coba untuk bangkit.

Akh.. itu bukan hal yang mudah bagiku. Aku terjatuh terlalu dalam. Rasanya tubuhku tak lagi bertulang, mataku sayu sembab tanpa rupa, dan hatiku masih saja berkecamuk, rasanya aku ingin membencinya, agar aku dapat membunuh rasa yang terselip terlalu dalam dihatiku. Lalu ku putuskan, tak perlu ku coba menolak rasa ini apalagi membunuhnya, karena itu percuma! Maka sekarang teruslah pura-pura untuk selalu baik-baik saja, hingga aku benar-benar lupa bahwa aku sedang berpura-pura. Aah.. sudahlah! Aku terlalu asik dengan rasa sakit, aku terlalu mendewakan cinta yang justru membodohkanku.
***
Tiba-tiba di tengah gelisahku, seorang pria dengan keluarganya datang ke rumahku. Saat itu aku sedang tidak dirumah. Satu pesan sms ku terima, namun ku abaikan, beberapa sms ku terima lagi, namun aku tak sempat membacanya, lalu ponselku mulai terus berdering hingga membuatku tidak nyaman di tempat rekan kerjaku. “maaf, saya angkat telepon dulu..” izinku.

“assalamu’alaikum, ada apa bu… rosa lagi ada rapat.” Sapaku mengawali pembicaraan. Kupikir ibuku akan menutup telepon, ternyata tidak. “ros, cepet pulang. Sekarang ya.” Tut..tut..tut..

Heran. Tidak biasanya ibu begini, kenapa ya. Pikirku.

Setelah tiba dirumah, aku masuk lewat pintu belakang, karena kulihat di depan sedang ada tamu. Aku tak banyak bicara. Aku benar-benar tidak mengerti, untuk apa ibu menyuruhku pulang? Tidak ada yang sakit, tidak pula ada sesuatu yang darurat hingga mendesakku harus pulang sekarang. Huuuft… ibu ini membuatku tidak tenang saja.

Tok tok tok.. suara ketuk pintu kamarku perlahan. “ros ada tamu didepan” tegur ibu pelan-pelan. Dengan perasaan heran, “itu tamunya rosa?” tanyaku masih ragu. Ibu tidak menjawab, hanya sedikit mengangguk tanda membenarkan pertanyaanku.

Tidak banyak orang yang ku kenal diantara mereka, hanya ibu yang berada di samping seorang laki-laki yang tak dapat kulihat wajahnya? Iya. Laki-laki itu terus menundukkan kepala. Sempat aku menaruh curiga, mereka ini siapa? Mau apa ketemu aku?
Dan ibu itu, ya aku memang kenal dengan ibu itu, ibu yang pernah mengobatiku sewaktu kecil. Tidak salah lagi, ibu itu dokter yang terkenal di zamannya. Lalu apa maksud mereka menemuiku? Tiba-tiba keringat dingin keluar dari sela-sela kulitku saat ibu itu mengatakan “rosa.. ibu berserta keluarga kesini bermaksud melamar nak rosa.”.

DEG. KAGET.

Melamarku? Aku hanya diam dan berpikir macam-macam.

Perjodohankah ini?-tanyaku dalam hati-
Namun kenapa dengan keluarga yang jelas2 keturunan Chinese. Apa mungkin seorang ayahku memilihkan seorang pria dengan latar belakang beda agama? Ahhh… Banyak yang ingin kutanyakan, namun aku hanya mampu diam. Ya hanya diam.
“laki-laki di samping ibu ini anak ibu, namanya singgih. Nah mas singgih ini sedang mencari jodoh, dia mengharapkan perempuan yang berhijab untuk di jadikan istrinya” lanjut ibu itu “dan kami bermaksud mengajak mbak rosa ta’aruf dahulu dengan mas singgih” aku hanya dapat merespon dengan senyuman.

Terjadilah percakapan panjang antara orang tuaku dengan keluarganya, aku dan laki-laki itu sama-sama terdiam dan tertunduk. Entah apa yang ia pikirkan tentangku. Yang jelas aku justru teringat tentang Rio. Rasanya aku ingin menceritakan ini semua kepadanya. Aku memang selalu menceritakan segala hal padanya, meski itu hal yang bodoh sekalipun. Itulah aku.

Kami bertukar identitas, ta’aruf secara syar’i langkah yang kami ambil. Aku tidak pernah sedikitpun ngobrol dengan laki-laki itu. Sesekali aku lirik dia. dia masih saja menyembunyikan wajahnya. Entah kenapa, aku merasa penasaran. Tidakkah ia penasaran dengan wajahku?

Mereka menceritakan tentang keluarga mereka, mereka berdua mu’alaf yang semua keluarganya masih beragama budha. Dia menjelaskan pekerjaan dan usahanya, dia menjelaskan kenapa akhirnya ia memilih islam sebagai agamanya, dia menjelaskan mengapa ia memilih datang kerumahku, sesungguhnya aku cukup terpana. Aku, yang sejak bayi beragama islam, aku, yang di adzani ketika pertama kali lahir didunia, namun aku hanya memiliki secuil keimanan dibanding laki-laki itu. Ada rasa malu, sedih, bahagia saat itu, menyadari ternyata hidayah allah itu nyata. Pikirku masih belum jelas arah jalannya. Bagiku ini masih terlalu cepat, bahkan airmataku belum kering.

Apa yang harus ku lakukan?

… bersambung Cinta Rosa Tanpa Rio 3…

***


Keep Calm And Smile ^_^
FNU

0 komentar: